Pusat Penerangan Hukum Menjawab “Waspadai Corruptor Fight Back Dengan Melemahkan Kewenangan Aparat Penegak Hukum”
Jambi Punyo Berita - Menjawab
pertanyaan berbagai media terkait adanya gugatan kewenangan penyidikan oleh
Kejaksaan RI di Mahkamah Konstitusi, melalui siaran pers ini, Kepala Pusat
Penerangan Hukum (Kapuspenkum) memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.
Pada
berbagai kesempatan, Jaksa Agung ST Burhanuddin selalu mengimbau seluruh
jajaran Kejaksaan bahwa dalam penanganan perkara korupsi baik di daerah maupun
di pusat, agar dilakukan secara objektif, transparan, berkesinambungan, serta
yang paling terpenting tidak tebang pilih dan konsisten. Meski demikian, tentunya
apapun yang dilakukan oleh Kejaksaan pasti berdampak pada psikologi ataupun
ketidaksukaan terhadap institusi, sehingga dengan berbagai cara, para koruptor
akan memainkan perannya seperti memberikan godaan materiil dan immateriil,
bahkan dengan ancaman fisik. Tak hanya itu, cara lain yang sedang gencar
dilakukan oleh para koruptor adalah menggugat kewenangan Aparat Penegak Hukum
seperti uji materiil undang-undang Kejaksaan terkait kewenangan penyidikan
termasuk kewenangan lain yang sangat substansial dari segi penegakan hukum.
Gugatan
atas kewenangan penyidikan Kejaksaan sudah berulang kali dilakukan, salah
satunya pasca disahkannya Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia. Penggugat melupakan kapasitas Jaksa dimana kewenangan Kejaksaan
dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diatur dalam undang-undang Kejaksaan
saja, namun juga terdapat pada undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi,
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, undang-undang
tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme, serta undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang. Tak hanya itu, dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kejaksaan memiliki kewenangan
sebagai penyidik. Kejaksaan telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan
perkara mega korupsi, salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada 1998 silam. Maka jika
dikaitkan dengan diferensiasi fungsional, sangat tidak sesuai dan bahkan KPK
sebagai lembaga yang memiliki penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan
eksekusi, berada dalam satu atap sebagai wujud reformasi penegakan hukum.
Selanjutnya,
ketika gugatan tersebut berbicara mengenai diferensiasi fungsional, maka
sebagaimana diatur dalam KUHAP yaitu pemisahan kewenangan di masing-masing
lembaga seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, hal ini
menjadi persoalan obscuur libel alias
mengaburkan fungsi sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang memiliki fungsi
koordinasi, sinergitas, dan kolaboratif. Gugatan-gugatan tersebut sudah keluar dari
konteks penegakan hukum modern dan mencederai konstitusi, yakni yang tidak ada
satu lembaga pun memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk
Jaksa sebagai dominus litis yakni pengendali
perkara, serta masih mempunyai fungsi koordinasi dengan penyidik dan pengawasan
dengan pengadilan maupun lembaga pemasyarakatan.
Adapun tugas
dan kewenangan Kejaksaan yakni penanganan perkara mulai dari hulu sampai ke
hilir, serta memastikan penyidikan dari berbagai institusi berjalan baik, sehingga
menghasilkan penuntutan dan proses pembuktian yang baik pula. Bahkan dalam
proses upaya hukum biasa sampai luar biasa, akan menjadi tanggung jawab Kejaksaan
selaku Penuntut Umum dan Jaksa, hingga eksekusi terhadap putusan pidana yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inchract).
Oleh
karenanya, terjadi kekeliruan dengan menempatkan proses penyidikan berdasarkan diferensiasi
fungsional yang justru hanya mengkotak-kotakan fungsi masing-masing lembaga,
dan menjauhkan sinergitas serta kolaborasi dalam penanganan perkara. Hal-hal tersebut
menyebabkan terjadinya bolak-balik perkara, menimbulkan ketidakpastian
penegakan hukum, dan bahkan manfaat penegakan hukum tidak dirasakan oleh
masyarakat.
Apabila gugatan untuk melemahkan Aparat Penegak Hukum tersebut dikabulkan, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat Kejaksaan dalam penanganan perkara mega korupsi yang mengakibatkan kerugian negara hingga triliunan rupiah seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya, impor garam, impor tekstil, dan lain sebagainya. Maka inilah yang harus disuarakan bahwa kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri.
Posting Komentar